Jumat, 15 Maret 2013

Media Sosial Bukan Arena "Perang"


"Lu punya kaca di rumah? Ngaca dong. Main rebut cowok orang aja. Sadar dirilah." Kalimat itu pernah ditemui di media sosial, atau yang sering kita sebut sosmed, seperti Facebook dan Twitter.

Sebenarnya media sosial memberi manfaat positif, yaitu membuat kita mudah menjalin hubungan dengan orang lain. Bermacam tulisan mulai dari berbagi keseharian, kutipan lagu, hingga kutipan memotivasi orang lain ada di sana. Namun, di balik kemudahan dan kebaikan itu ada pelajar yang menggunakan media sosial secara tidak bijaksana.

Salah satunya menggunakan sosmed sebagai arena "peperangan", mulai dari mengejek teman hingga bullying. Padahal keadaan itu enggak cuma membahayakan orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri. Orang yang menjadi korban kata-kata kita ada yang merasa cemas, minder, merasa terkucilkan, hingga stres. Betapa tertekannya jika kita ada di posisi korban.

S, siswa SMA di Muntilan, Jawa Tengah, pernah menjadi korban karena menulis di sosmed. "Ada salah paham. Aku update status lalu ada yang tersindir," tuturnya. Akibatnya, S dicaci-maki pihak yang tersindir. "Aku jadi waswas. Takut salah tulis lagi di sosmed," ujarnya.

Di sisi lain, ada remaja yang mudah tersindir lalu mengajak "perang", seperti G, siswi SMA di Purwokerto, Jawa Tengah. "Aku suka sosmed karena di situ kita bisa main kata-kata. Kita bisa menyudutkan dia (korban) sekaligus buat ajang pelampiasan emosi. Aku tahu itu salah," kata G.

Tentu saja si korban merasa tak nyaman. Apalagi "perang" kata itu jadi tontonan kawan-kawan mereka di Facebook, Twitter dan sebagainya. Tak hanya itu, orangtua yang membaca "kicauan" yang "menyeramkan" juga merasa tak nyaman.

Mulutmu harimaumu

Ibu Septina, orangtua salah seorang siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan, Magelang, menyarankan agar kita bijak ketika menulis di dunia maya. "Ibarat ngomong, yang terlanjur tertulis dan tersebar enggak bisa ditarik lagi," katanya.

Benar juga ya, kadang-kadang yang tertulis itu luapan emosi sesaat, spontan. "Kata orang, 'mulutmu harimaumu'. Yang kita tulis mencerminkan siapa kita," ujarnya.

Sementara Sr Karina CB, pamong asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith berpendapat, karena kita tak bertemu langsung dengan orang yang bersangkutan, seseorang bisa dengan mudah mengejek orang lain di sosmed.

Pamong yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling itu menjelaskan, sebagai alat komunikasi, penggunaan sosmed untuk sarana ejek-mengejek jelas tak tapet. "Membuktikan kalau perkembangan psikologi remaj bersangkutan belum dewasa. Ia tak bisa menggunakan alat komunikasi tepat guna," lanjutnya.

Secara psikologis, Sr. Karina menyebut pelaku "berani melukai tapi takut dilukai". Ia takut diketahui identitasnya. Ciri-ciri pelaku biasanya diam, penakut, pemalu, dan pengecut.

Agar tak perang, ia menyarankan, jika diejek ataupun disindir di sosmed, biarkan saja. Pakailah prinsip emang gue pikirin dan tak usah dibalas.

Benar juga ya, jika telanjur "berperang", kamu bisa menyelesaikannya secara baik-baik. Cara itu ditempuh S. Ia mendatangi orang yang merasa tersindir. "Aku jelaskan tak ada maksud menyindir. Dia menerima penjelasanku. Hati kami berdua menjadi damai," kata S lega.

Sebagai sesama pengguna media sosial, kita harus ingat selalu ada batasan dalam berteman. Ada etika yang harus kita jaga. Pikirkan pila akibat dari tulisan karena dibaca banyak orang.

Jadi, teman-teman, gunakan media sosial sesuai fungsinya, yaitu untuk berhubungan dengan orang lain secara positif. Musnahkan "peperangan" karena damai itu menyenangkan.

(Tim Jurnalistik SMA Pangudi Luhur Van Lith)

Kompas MuDA Nomor 8 Tahun Keenam (Kompas, Jumat, 15 Maret 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar